Bantuan Likuiditas: Saat Uang Bekerja, UMKM Bergerak, Ekonomi Bangkit!
Oleh: Dr. H. Abid Muhtarom, SE., S.Pd., MSE.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Lamongan (UNISLA)
Lamongan, KabarOne News com-Kebijakan bantuan likuiditas kembali menjadi perbincangan hangat dalam dinamika ekonomi Indonesia. Di tengah tantangan global, fluktuasi harga, dan tekanan ekonomi pascapandemi, pemerintah bersama Bank Indonesia berupaya menjaga stabilitas ekonomi melalui berbagai instrumen moneter, termasuk pelonggaran likuiditas. Langkah ini bertujuan agar uang beredar lebih banyak di masyarakat, aktivitas ekonomi bergerak, dan daya beli meningkat. Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah uang yang mengalir dari kebijakan likuiditas benar-benar bekerja menggerakkan sektor riil, atau justru berhenti di meja lembaga keuangan tanpa dampak signifikan bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional?
Kebijakan moneter sejatinya adalah seni dalam menyeimbangkan keberanian dan kehati-hatian. Keberanian muncul ketika pemerintah berani mengeluarkan uang untuk menggerakkan ekonomi, sedangkan kehati-hatian diperlukan agar likuiditas tidak memicu inflasi berlebihan atau salah sasaran. Dalam konteks Indonesia, keberanian ini harus diimbangi dengan strategi cerdas agar setiap rupiah yang beredar benar-benar bertransformasi menjadi produktivitas. Uang tidak boleh hanya menjadi angka dalam sistem keuangan, tetapi harus menjadi energi yang menghidupkan sektor riil, terutama UMKM yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar dan penopang utama ekonomi daerah.
UMKM bukan sekadar entitas ekonomi kecil, melainkan wajah nyata ketahanan ekonomi bangsa. Ketika sektor besar terpukul oleh gejolak global, UMKM tetap bertahan dengan kreativitas dan fleksibilitasnya. Dari warung tradisional di pelosok desa hingga pelaku usaha digital di perkotaan, UMKM telah membuktikan kemampuannya untuk bertahan, bahkan tumbuh dalam keterbatasan. Namun di balik ketangguhan itu, banyak UMKM masih bergulat dengan akses permodalan yang sulit. Persyaratan administrasi yang rumit, agunan yang tinggi, serta minimnya literasi keuangan menjadi penghalang utama mereka dalam menikmati manfaat dari bantuan likuiditas. Di sinilah letak tantangan kebijakan moneter yang sesungguhnya bagaimana memastikan likuiditas benar-benar sampai ke tangan rakyat kecil, bukan hanya berhenti di perbankan besar atau sektor korporasi.
Bantuan likuiditas seharusnya dipahami bukan sekadar instrumen makroekonomi, melainkan alat pemberdayaan ekonomi rakyat. Jika diarahkan secara tepat, kebijakan ini mampu menjadi bahan bakar yang mempercepat putaran ekonomi lokal. Bayangkan seorang pengrajin batik di Lamongan yang mendapatkan tambahan modal dari program kredit berbunga rendah. Dengan dana itu, ia dapat membeli bahan baku lebih banyak, memperluas pasar, bahkan mempekerjakan beberapa warga sekitar. Efek domino ini menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, dan memperkuat daya beli masyarakat. Di titik inilah uang tidak hanya beredar, tetapi benar-benar bekerja untuk rakyat.
Namun, likuiditas yang berlimpah tanpa arah hanya akan menciptakan ilusi pertumbuhan. Sejarah ekonomi mengajarkan bahwa uang yang beredar tanpa produktivitas akan memicu inflasi, memperlemah nilai tukar, dan bahkan memperbesar kesenjangan sosial. Karena itu, bantuan likuiditas harus disertai kebijakan komplementer yang memperkuat daya serap sektor riil. Pemerintah perlu mendorong sinergi antara bank, koperasi, lembaga keuangan mikro, serta perguruan tinggi untuk menciptakan ekosistem pembiayaan yang sehat dan berkeadilan. Di sinilah peran pendidikan ekonomi dan kampus seperti Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNISLA menjadi penting — tidak hanya sebagai pengamat kebijakan, tetapi sebagai mitra strategis dalam mendampingi pelaku UMKM agar mampu mengelola bantuan dengan cerdas dan berkelanjutan.
Dalam implementasinya, bantuan likuiditas harus bertransformasi dari pendekatan “bantuan uang” menjadi “bantuan pengetahuan.” Uang memang bisa menggerakkan ekonomi, tetapi pengetahuanlah yang memastikan gerakan itu berkelanjutan. Banyak UMKM yang gagal bertahan bukan karena kekurangan modal, tetapi karena lemahnya kemampuan manajerial, kurangnya literasi digital, dan minimnya inovasi produk. Karena itu, likuiditas yang diberikan sebaiknya diiringi dengan program pendampingan, pelatihan, serta penguatan jaringan pemasaran. Di era digital seperti sekarang, bantuan modal tanpa transformasi teknologi ibarat menyalakan mesin tanpa bahan bakar tambahan. UMKM perlu dibekali kemampuan menggunakan platform digital untuk pemasaran, transaksi, hingga analisis keuangan. Dengan begitu, bantuan likuiditas akan benar-benar menjadi katalis pertumbuhan jangka panjang.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa likuiditas tidak terserap hanya oleh sektor konsumtif. Saat uang beredar tanpa menghasilkan nilai tambah, maka kebijakan moneter kehilangan daya dorongnya. Sebaliknya, bila diarahkan ke sektor produktif seperti pertanian, industri kreatif, perikanan, dan perdagangan lokal maka efek gandanya akan terasa luas. Produksi meningkat, tenaga kerja terserap, dan pendapatan masyarakat naik. Dalam konteks ini, UMKM menjadi garda depan transformasi ekonomi nasional. Mereka bukan hanya penerima manfaat, tetapi juga penggerak utama dalam mewujudkan kemandirian ekonomi bangsa.
Namun, agar kebijakan bantuan likuiditas efektif, diperlukan transparansi dan akuntabilitas dalam distribusinya. Pengawasan yang ketat harus dilakukan agar dana tidak disalahgunakan atau jatuh ke tangan pihak yang tidak produktif. Selain itu, lembaga keuangan perlu diberikan insentif agar lebih berani menyalurkan kredit kepada UMKM. Pemerintah dapat memperluas skema penjaminan kredit agar risiko perbankan berkurang, sementara pelaku usaha kecil mendapatkan kepercayaan yang lebih besar. Dalam ekosistem seperti ini, keberanian dalam mengeluarkan uang untuk mengerjakan ekonomi tidak menjadi tindakan gegabah, melainkan langkah strategis untuk membangun daya tahan ekonomi nasional.
Lebih jauh, bantuan likuiditas juga harus disertai dengan kepercayaan sosial dan optimisme ekonomi. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa kebijakan pemerintah bukan sekadar angka dalam neraca keuangan negara, tetapi bentuk nyata kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat. Ketika kepercayaan ini tumbuh, masyarakat akan lebih berani berbelanja, berinvestasi, dan berinovasi. Di titik ini, sinergi antara kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan psikologi ekonomi masyarakat menjadi satu kesatuan yang menentukan arah pertumbuhan bangsa.
Sebagai ekonom, saya meyakini bahwa likuiditas adalah darah kehidupan ekonomi. Namun darah itu hanya memberi energi bila mengalir dengan baik ke seluruh tubuh perekonomian, bukan hanya berpusat di jantung keuangan negara. UMKM adalah urat nadi dari sistem ini. Jika mereka mengalirkan energi melalui kegiatan produktif, maka seluruh tubuh ekonomi nasional akan sehat, kuat, dan tahan terhadap krisis. Sebaliknya, bila mereka terhambat karena kekeringan modal atau kebijakan yang tidak berpihak, maka perekonomian akan lesu meskipun angka likuiditas terlihat tinggi di atas kertas.
Kini, saat Indonesia berusaha memperkuat fondasi ekonominya di tengah ketidakpastian global, bantuan likuiditas harus menjadi simbol keberanian sekaligus kebijaksanaan. Keberanian untuk mengeluarkan uang, dan kebijaksanaan untuk memastikan uang itu bekerja dengan benar. UMKM harus menjadi pusat dari setiap kebijakan, karena di tangan merekalah ekonomi rakyat menemukan bentuk nyatanya. Dengan likuiditas yang dikelola cerdas, berbasis produktivitas, dan berpihak pada rakyat, Indonesia tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang mandiri, adil, dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, uang hanyalah alat. Yang membuatnya bermakna adalah bagaimana ia digunakan untuk menggerakkan kehidupan. Jika kebijakan likuiditas mampu menyalakan semangat pelaku UMKM di seluruh pelosok negeri, maka kebijakan itu bukan hanya soal angka dan laporan, tetapi tentang harapan, kerja keras, dan masa depan ekonomi Indonesia yang lebih cerah.