Perang Dagang Baru, Momen Kebangkitan UMKM dan Perlindungan Produk Dalam Negeri

Ketika dunia berharap pemulihan ekonomi global pascapandemi berjalan mulus, sebuah badai baru datang dari arah tak terduga: Amerika Serikat secara resmi menerapkan tarif impor hingga 32% terhadap sejumlah produk asal Indonesia per 5 April 2025. Keputusan ini sontak menjadi pukulan telak bagi dunia usaha nasional, terutama sektor ekspor yang selama ini bergantung pada pasar Amerika. Namun, apakah ini akhir dari segalanya? Justru tidak. Ini adalah momen kebangkitan. Inilah saatnya Indonesia menyalakan kembali semangat perlindungan produk dalam negeri, memperkuat UMKM sebagai benteng ekonomi, dan membangun daya tahan nasional dalam pusaran geopolitik global. Tarif Resiprokal: Dunia Terancam Terjerembab dalam Perang Dagang Baru Langkah sepihak Amerika memicu efek domino. Negara-negara lain merespons dengan kebijakan tarif resiprokal sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi proteksionisme Negeri Paman Sam. Indonesia pun tak tinggal diam. Isu ini bukan lagi persoalan ekonomi semata, tetapi telah menjelma menjadi dinamika politik global yang rumit dan membahayakan stabilitas ekonomi dunia. Tarif sebesar 32% tentu saja menjadi beban tambahan yang membuat produk Indonesia kehilangan daya saing di pasar Amerika. Biaya ekspor meningkat, harga produk melonjak, dan potensi penurunan volume ekspor pun tak terhindarkan. Bagi pelaku usaha nasional, ini bukan sekadar hambatan, melainkan sinyal bahwa perang dagang telah masuk babak baru lebih kompleks, lebih keras, dan lebih menyakitkan. Namun yang menarik, kebijakan tarif Amerika juga mengundang protes dari dalam negerinya sendiri. Ribuan warga turun ke jalan, memprotes kebijakan yang menyebabkan kenaikan harga produk impor, mengancam lapangan pekerjaan, dan memperburuk inflasi domestik. Artinya, alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini justru menimbulkan ketidakstabilan di dalam negeri mereka. Panggilan Nasional: Saatnya Melindungi Pasar Dalam Negeri Dalam situasi seperti ini, muncul desakan dari kalangan pengusaha Indonesia agar pemerintah segera mengambil langkah strategis. Perlindungan pasar dalam negeri menjadi keharusan mutlak. Bukan dalam arti proteksionisme sempit, tetapi sebagai upaya membangun kemandirian ekonomi nasional dan memitigasi dampak gejolak global. Pemerintah harus berani menerapkan kebijakan yang berpihak pada industri dalam negeri. Salah satunya adalah memperketat regulasi impor untuk barang-barang substitusi yang dapat diproduksi oleh pelaku usaha nasional, terutama UMKM. Di saat yang sama, dorongan untuk menggunakan produk lokal di sektor publik dan swasta harus menjadi gerakan nasional yang masif dan berkelanjutan. Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menghadapi krisis. Tahun 1998 dan masa pandemi Covid-19 adalah dua momen besar yang membuktikan betapa pentingnya ketahanan ekonomi domestik. Kini, dengan ancaman perang dagang baru, kita harus belajar dari masa lalu. Kemandirian ekonomi bukan pilihan, tetapi keharusan. Dan kunci dari semua itu adalah UMKM. UMKM: Bukan Sekadar Penyelamat, Tapi Pilar Peradaban Ekonomi UMKM bukan hanya “penjaga gawang” saat badai krisis menghantam, tetapi sesungguhnya adalah pilar peradaban ekonomi Indonesia. Dengan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja dan berkontribusi lebih dari 60% terhadap PDB nasional, UMKM adalah fondasi yang selama ini menahan guncangan ekonomi global. Namun, sudah saatnya UMKM tidak hanya diposisikan sebagai “penyelamat darurat”. Mereka harus naik kelas. UMKM harus menjadi kekuatan utama, bukan cadangan. Maka, dibutuhkan kebijakan strategis yang konkret: insentif pajak, kemudahan akses pembiayaan, digitalisasi, dan tentu saja, proteksi dari serbuan produk asing.