
Dampak Demonstrasi,UMKM dan Percepatan Media Sosial terhadap Stabilitas Pasar Modal Dan Refleksi Ekonomi Digital di Indonesia

Di tengah lanskap ekonomi digital yang berkembang pesat, dinamika sosial-politik memiliki dampak yang semakin kompleks terhadap aktivitas pasar modal. Salah satu bentuk dinamika sosial yang kerap memengaruhi fluktuasi pasar adalah demonstrasi. Dalam konteks Indonesia, demonstrasi yang dipicu oleh isu-isu ekonomi seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), UMKM dan kondisi perekonomian. Perubahan kebijakan fiskal, atau ketimpangan ekonomi sering kali menciptakan gelombang kekhawatiran di kalangan investor.
Reaksi pasar terhadap demonstrasi tersebut tidak bersifat seragam. Dalam sejumlah kasus, peristiwa demonstrasi memicu penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang signifikan. Namun, pada kasus lain, pasar mampu bersikap netral bahkan pulih dengan cepat. Perbedaan ini menunjukkan bahwa reaksi investor sangat dipengaruhi oleh konteks peristiwa, persepsi risiko, dan kepercayaan terhadap respons pemerintah.
Dr. Abid Muhtarom Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Islam Lamongan (UNISLA)mengatakan Secara umum, dua indikator utama yang digunakan untuk mengukur reaksi pasar terhadap peristiwa sosial-politik adalah abnormal return dan trading volume activity, Abnormal return menggambarkan selisih antara return aktual saham dengan return yang seharusnya terjadi dalam kondisi normal. Sementara itu, trading volume activity menunjukkan tingkat aktivitas jual-beli saham yang mencerminkan intensitas respons investor terhadap suatu peristiwa tertentu. Kata abid Mutaharom.
Beberapa penelitian empiris menunjukkan bahwa demonstrasi besar yang disertai ketidakpastian politik dapat memicu abnormal return negatif, terutama jika pelaku pasar menilai situasi tersebut dapat mengganggu stabilitas ekonomi jangka pendek. Aktivitas perdagangan pun cenderung meningkat karena investor cenderung melakukan rebalancing portofolio untuk menghindari risiko. Ujarnya.
Namun, perlu disadari bahwa karakteristik pasar di era digital telah berubah secara drastis. Salah satu faktor yang mempercepat perubahan ini adalah kehadiran media sosial sebagai kanal informasi utama. Di satu sisi, media sosial memberikan akses yang cepat dan luas terhadap informasi. Namun di sisi lain, platform ini juga rawan disusupi oleh informasi yang tidak terverifikasi, hoaks, atau opini publik yang dibentuk berdasarkan emosi sesaat.
Peran media sosial dalam membentuk persepsi pasar menjadi sangat signifikan. Dalam hitungan menit, sebuah video atau narasi tertentu dapat viral dan menyebar ke jutaan pengguna. Apabila konten tersebut berkaitan dengan peristiwa demonstrasi yang memuat unsur kekerasan, ketegangan politik, atau ketidakpastian ekonomi, maka persepsi risiko investor dapat meningkat secara tajam. Paparnya Mutharom.
Situasi ini menyebabkan pasar menjadi semakin reaktif terhadap sentimen jangka pendek. Investor yang sebelumnya mengandalkan data fundamental atau analisis teknikal kini juga mempertimbangkan tren opini publik di media sosial sebagai salah satu sumber informasi untuk pengambilan keputusan. Konsekuensinya, volatilitas pasar menjadi lebih tinggi, dan potensi terjadinya overreaction pun meningkat.
Dalam konteks Indonesia, sektor-sektor tertentu menunjukkan tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap gejolak sosial dan sentimen negatif yang menyebar di media sosial. Sektor energi, misalnya, sangat sensitif terhadap isu BBM dan kebijakan subsidi pemerintah. Sementara itu, sektor konsumsi dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang juga dapat terpengaruh oleh kondisi sosial-politik.
Maka dari itu, respons pemerintah terhadap gejolak sosial menjadi faktor penentu dalam menjaga stabilitas pasar. Pemerintah perlu menerapkan pendekatan yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dalam menyikapi demonstrasi dan persepsi publik. Komunikasi yang terbuka, transparan, dan berbasis data sangat penting untuk mengurangi ketidakpastian dan menumbuhkan kembali kepercayaan investor.
“Langkah strategis lainnya adalah penguatan kanal informasi resmi di media sosial. Pemerintah dan otoritas pasar seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) perlu lebih aktif dalam menyampaikan klarifikasi, data, serta arah kebijakan secara real time. Dengan demikian, persepsi publik tidak semata-mata dibentuk oleh opini viral yang belum tentu faktual.” Jelasnya.
Dari sisi akademik, lembaga pendidikan tinggi juga memiliki peran strategis dalam membekali generasi muda agar lebih tangguh menghadapi era informasi yang penuh tantangan ini. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Lamongan (UNISLA), misalnya, secara konsisten mendorong penguatan literasi keuangan dan digital melalui kurikulum yang responsif terhadap perkembangan zaman.
Kami percaya bahwa literasi bukan hanya soal memahami konsep ekonomi
dasar, tetapi juga mencakup kemampuan kritis dalam menganalisis
informasi, termasuk informasi yang bersumber dari media sosial. Oleh
karena itu, FEB UNISLA menghadirkan inovasi berbasis teknologi seperti
aplikasi SiFEB, yang dirancang untuk mendukung proses belajar mengajar
dan pengambilan keputusan keuangan secara cerdas.Selain itu, kami juga membekali mahasiswa dengan keterampilan
kewirausahaan, manajemen risiko, serta analisis pasar berbasis data.
Pelatihan-pelatihan rutin, kolaborasi dengan pelaku industri, dan
riset-riset aplikatif terus dikembangkan sebagai upaya membentuk lulusan
yang siap menghadapi tantangan dunia kerja dan investasi modern.Harapan kami, lulusan FEB UNISLA tidak hanya menjadi pengamat pasif
dalam dinamika ekonomi nasional, tetapi mampu menjadi pelaku yang
tangguh dan inovatif. Mereka harus mampu membaca sinyal pasar, memahami
tren digital, serta mengelola risiko dengan bijak di tengah derasnya
arus informasi yang kadang membingungkan.Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa demonstrasi dan gejolak
sosial lainnya tetap menjadi bagian dari dinamika demokrasi. Namun, di
era digital, dampaknya terhadap pasar modal menjadi lebih kompleks
karena diperkuat oleh kecepatan dan jangkauan media sosial. Oleh karena
itu, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, pelaku pasar, akademisi, dan
masyarakat untuk menciptakan ekosistem informasi yang sehat dan pasar
yang stabil.Lanjutnya, Literasi digital, transparansi kebijakan, serta kesiapan
sumber daya manusia menjadi kunci utama untuk menjaga kepercayaan
investor dan kelangsungan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam semangat
kolaboratif, mari kita bangun pasar modal yang lebih tangguh, inklusif,
dan adaptif terhadap tantangan zaman. Pungkasnya

