HOME

Menuju Ekonomi Kerakyatan yang Tangguh

Di atas panggung besar kebijakan publik, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Koperasi Merah Putih (KMP) telah ditampilkan sebagai simbol perjuangan ekonomi rakyat dan inklusi keuangan nasional. Kedua entitas ini digambarkan sebagai mesin penggerak sektor informal dan jembatan antara negara dan rakyat dalam membangun kemandirian ekonomi. Di balik narasi manis tersebut, terselip realitas struktural yang mengkhawatirkan: manajemen yang belum profesional, lemahnya sistem pengawasan, serta intervensi politis yang mereduksi idealisme awalnya. 

Maka, pujian tanpa evaluasi justru menjadi bentuk pembiaran sistemik. Untuk itu, perlu keberanian akademik dan moral untuk memberikan kritik konstruktif demi masa depan ekonomi kerakyatan yang lebih bermartabat dan berkelanjutan.

Sejak awal kelahirannya, BPR diposisikan sebagai lembaga keuangan yang dekat dengan denyut nadi UMKM. Dengan struktur kecil dan jangkauan lokal, BPR diharapkan mampu menjangkau pelaku usaha yang tak terlayani oleh bank umum. 

Namun realitasnya, banyak BPR justru terjebak dalam lingkaran kelemahan internal. Kasus kredit fiktif, kredit macet sistemik, dan laporan keuangan yang tidak akuntabel menjadi kisah berulang yang merusak kepercayaan publik. 

Bahkan, tidak sedikit BPR yang mengalami kebangkrutan karena sistem pengawasan internal dan eksternal yang longgar. Ini bukan hanya soal kegagalan teknis, tetapi sinyal kegagalan institusional yang menuntut perombakan menyeluruh.

Lebih parah lagi, transformasi digital yang semestinya menjadi keharusan justru tidak menjadi prioritas bagi sebagian besar BPR. Di tengah era keuangan digital, ketika fintech dan bank digital menawarkan layanan real-time, BPR masih berkutat dengan formulir manual dan proses administrasi konvensional. 

Ketimpangan teknologi ini menjadikan BPR kehilangan daya saing. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan memperingatkan bahwa puluhan BPR akan terpaksa ditutup atau digabungkan jika tidak segera melakukan merger dan digitalisasi. Ini adalah sinyal kuat bahwa eksistensi BPR sedang menghadapi krisis relevansi di tengah perubahan lanskap keuangan nasional.

Ironisnya, pemerintah justru lebih memercayakan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada bank umum, padahal BPR-lah yang paling memahami karakteristik UMKM di wilayahnya masing-masing. 

Kebijakan ini menciptakan paradoks: bank yang semestinya menjadi tulang punggung UMKM justru tersingkir dari arus utama pendanaan. Jika pola ini terus berlanjut, BPR bukan lagi institusi strategis, melainkan hanya akan menjadi monumen usang dari sistem keuangan yang gagal bertransformasi.

Situasi serupa juga melanda Koperasi Merah Putih (KMP). Diresmikan dengan semangat nasionalisme dan gotong royong, KMP digadang-gadang sebagai jawaban atas lemahnya akses masyarakat desa terhadap lembaga ekonomi modern. Namun pendekatan top-down dalam pembentukannya justru memunculkan masalah struktural. 

Ribuan koperasi dibentuk secara serentak tanpa proses inkubasi kelembagaan yang memadai. Ketika koperasi lahir karena perintah, bukan kesadaran kolektif, maka yang muncul bukan semangat partisipatif, melainkan beban administratif.

Lembaga riset seperti CORE Indonesia telah memberikan catatan kritis terkait pembiayaan masif terhadap koperasi tanpa kesiapan manajemen. Banyak pengurus koperasi di desa bahkan belum memiliki pemahaman dasar tentang akuntansi, manajemen keuangan, maupun tata kelola organisasi. 

Ketika dana besar dikelola tanpa kapasitas yang memadai, maka risiko penyelewengan atau gagal bayar bukan hanya mungkin, tetapi nyaris tak terhindarkan. Hal ini mengingatkan kita pada kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD) di masa Orde Baru, yang kolaps bukan karena konsepnya keliru, tetapi karena praktiknya yang buruk.

Selain persoalan internal, munculnya KMP di tengah struktur kelembagaan desa yang telah eksis seperti BUMDes dan koperasi lama justru menambah kompleksitas. Alih-alih menciptakan sinergi, yang terjadi adalah tumpang tindih fungsi dan potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan dana desa. 

Banyak desa bingung dengan kehadiran KMP apakah ini bagian dari BUMDes, entitas baru, atau alat proyek semata. Kekacauan ini memperlihatkan lemahnya desain kebijakan dan koordinasi antarlembaga negara. Pada akhirnya, yang dirugikan adalah masyarakat desa yang semestinya menjadi subjek utama pemberdayaan ekonomi.

Dalam menghadapi tantangan ini, reformasi sistem pelaporan dan transparansi menjadi kunci. Baik BPR maupun koperasi membutuhkan standar pelaporan keuangan yang sederhana namun kuat, pelatihan akuntansi dasar, dan audit independen secara berkala. 

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) memiliki peluang strategis untuk mendorong sertifikasi akuntansi mikro dan membentuk komunitas “akuntan desa” yang mampu mendampingi lembaga-lembaga ini. Namun hingga kini, kontribusi IAI dalam pemberdayaan keuangan desa masih belum signifikan terlalu fokus pada korporasi dan pasar modal.

Di tengah situasi tersebut, Universitas Islam Lamongan (UNISLA) hadir sebagai aktor kunci dalam ekosistem penguatan ekonomi kerakyatan. Melalui Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), UNISLA tidak sekadar menjalankan peran akademik, melainkan berkomitmen pada praksis pemberdayaan yang nyata. 

Pendekatan Tridharma Perguruan Tinggi menjadi basis gerakan intelektual ini. Dalam konteks Koperasi Merah Putih, FEB UNISLA secara aktif mengirim mahasiswa melalui skema Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) untuk terlibat langsung dalam pelatihan, pendampingan, serta audit koperasi desa.

Keterlibatan mahasiswa ini tidak hanya memberikan manfaat praktis bagi koperasi, tetapi juga mencetak calon pemimpin muda yang memahami dinamika ekonomi rakyat. Para dosen pun aktif melakukan riset-riset terapan yang menghasilkan model tata kelola koperasi berbasis digital dan inklusif. 

Beberapa hasil riset bahkan telah dijadikan rekomendasi kebijakan bagi dinas terkait di tingkat daerah. FEB UNISLA juga rutin menyelenggarakan seminar literasi keuangan dan pelatihan manajemen usaha mikro bagi masyarakat desa sebagai bagian dari pengabdian kepada masyarakat.

UNISLA sadar bahwa regenerasi kepemimpinan koperasi harus ditanamkan sejak dini. Karena itu, FEB UNISLA mendorong integrasi pendidikan kewirausahaan sosial dalam kurikulum, termasuk pengembangan inkubator koperasi mahasiswa. 

Kampus tidak hanya menjadi menara gading akademik, tetapi juga laboratorium sosial yang hidup tempat mahasiswa belajar berpikir sistemik dan bertindak strategis dalam menjawab problem riil masyarakat.

Kedepan, UNISLA berkomitmen memperluas kolaborasi lintas sektor, baik dengan pemerintah, lembaga keuangan, maupun asosiasi koperasi nasional. Tujuannya sederhana namun fundamental: menciptakan tata kelola ekonomi kerakyatan yang modern, transparan, dan berkeadilan.

Sebab bagi UNISLA, koperasi dan BPR bukan sekadar instrumen teknokratis, melainkan bagian dari perjuangan membangun kedaulatan ekonomi bangsa.

Kesimpulannya, tantangan yang dihadapi BPR dan Koperasi Merah Putih hari ini adalah cerminan dari kegagalan mengintegrasikan visi besar dengan eksekusi mikro. 

Dibutuhkan reformasi menyeluruh: dari pembenahan tata kelola, peningkatan kapasitas SDM, hingga penciptaan ekosistem yang sinergis. Kritik bukanlah bentuk penolakan, tetapi cinta pada cita-cita awal tentang ekonomi kerakyatan. 

Dalam konteks ini, kampus seperti UNISLA harus terus tampil sebagai pelita intelektual dan agen transformasi yang tak hanya bicara teori, tetapi juga menghadirkan solusi yang nyata dan berkelanjutan.

Oleh : Dr. H. Abid Muhtarom, SE., S.Pd., M.SE., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Lamongan (UNISLA).

Komentar Dinonaktifkan pada Menuju Ekonomi Kerakyatan yang Tangguh