HOME

Perang Dagang Global: Gelombang Besar yang Siap Menggulung Ekonomi Dunia

“Ketika dua gajah bertarung, rumputlah yang hancur. Dunia hari ini sedang menjadi rumput dalam duel ekonomi terbesar abad ini: Amerika vs Cina.”

10 April 2025 menjadi tonggak sejarah baru dalam babak gelap ekonomi global. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump—dengan gaya khas populis-agresifnya—menandatangani dekrit kenaikan tarif impor barang dari Cina hingga 50 persen. Ini menjadikan total tarif untuk produk impor Cina yang masuk ke Amerika Serikat mencapai 104 persen.

Ya, Anda tidak salah baca: 104 persen! Barang senilai 1 juta dolar, harus dibayar lebih dari 2 juta hanya untuk masuk pasar Amerika. Ini bukan sekadar perang dagang. Ini adalah deklarasi perang ekonomi terbuka!

Tak butuh waktu lama, Cina merespons dengan tak kalah garang. Negeri Tirai Bambu tersebut langsung membalas dengan tarif serupa: 34 persen terhadap sejumlah besar komoditas Amerika. Ekspor pertanian, otomotif, hingga barang elektronik Amerika menjadi sasaran tembak utama. Dunia pun menahan napas—apakah kita tengah menyaksikan awal dari Perang Dunia Ekonomi jilid kedua?

Yang menarik, ini bukan hanya urusan dua negara. Dalam langkah yang mengejutkan namun bisa diprediksi, Kanada dan negara-negara Uni Eropa turut masuk gelanggang. Mereka menambahkan tarif sebesar 20 persen terhadap berbagai produk Amerika. Solidaritas negara-negara yang selama ini menjadi sekutu Amerika mulai terkikis, digantikan dengan strategi bertahan hidup dalam medan pertempuran perdagangan global.

Dunia Terbelah, Indonesia Bersikap Cerdas

Dalam pusaran konflik ini, Indonesia menunjukkan sikap yang luar biasa dewasa dan strategis. Pemerintah tidak gegabah ikut larut dalam narasi “tarif balas-membalas.” Sebaliknya, Indonesia tampil sebagai suara yang tenang di tengah badai. Jalan diplomasi, negosiasi, dan pendekatan multilateral menjadi pegangan utama.

Langkah ini bukan tanda kelemahan, melainkan kecerdasan geopolitik. Indonesia tahu persis: masuk ke dalam konflik antara dua raksasa hanya akan membuat ekonomi domestik menjadi korban. Lebih baik menjadi jembatan dialog daripada pion di papan catur perang dagang.

Kenaikan tarif secara agresif akan melumpuhkan rantai pasok dunia. Pabrik-pabrik akan tutup, jutaan tenaga kerja akan kehilangan pekerjaan, dan harga-harga akan melambung tinggi. Bagi negara-negara berkembang, ini adalah mimpi buruk. Pasar ekspor menyempit, investasi menguap, dan volatilitas mata uang menjadi-jadi.

Pasar saham global telah merespons dengan kegelisahan. Dalam seminggu terakhir, indeks Dow Jones, Nikkei, hingga Eropa mengalami penurunan signifikan. Investor menarik modal mereka, memilih menyimpan di instrumen yang lebih aman. Dunia sedang menuju flight to safety dalam skala besar.

Di Amerika sendiri, tekanan terhadap Trump membesar. Para pengusaha besar, CEO raksasa teknologi, hingga asosiasi petani mengeluhkan kebijakan tarif yang disebut sebagai “bunuh diri ekonomi.” Sebagai respons, pemerintah Amerika akhirnya menunda penerapan tarif tambahan selama 90 hari. Namun, penundaan bukan solusi. Ini hanya jeda, bukan damai.

Trump: Simbol Ketidakpastian Dunia

Trump adalah simbol dari dunia baru yang tidak bisa diprediksi. Dunia di mana diplomasi kalah oleh Twitter (saat ini X, Red.), dan stabilitas digantikan oleh sensasi. Ketika seorang Presiden bisa mengacaukan pasar global hanya dengan satu cuitan, maka kita patut bertanya: di tangan siapa masa depan ekonomi dunia diletakkan?

Kebijakan Trump tidak lahir dari ruang kosong. Ia mencerminkan gelombang nasionalisme ekonomi yang tengah menjangkiti dunia. Amerika ingin kembali menjadi besar, dan tarif adalah senjata utamanya. Sayangnya, senjata ini bukan hanya menusuk lawan, tapi juga melukai diri sendiri.

Cina: Tidak Akan Menyerah

Jangan pernah mengira bahwa Cina akan mundur. Negeri ini bukan sekadar kekuatan ekonomi, tapi juga kekuatan budaya dan sejarah. Dengan cadangan devisa terbesar di dunia dan teknologi yang terus berkembang, Cina siap untuk duel jangka panjang. Mereka akan mengalihkan pasar, memperkuat konsumsi dalam negeri, dan membangun aliansi baru dengan negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Justru dalam konflik ini, Cina bisa jadi akan mempercepat proses dedolarisasi dunia. Perlahan tapi pasti, dominasi dolar dalam perdagangan global akan terancam jika negara-negara lain memilih untuk berdagang dalam yuan, euro, atau bahkan mata uang regional.

Indonesia: Momentum Emas di Tengah Krisis

Di tengah kekacauan ini, Indonesia memiliki peluang emas. Saat negara-negara besar sibuk saling menghancurkan dengan tarif, Indonesia bisa menjadi alternatif baru dalam rantai pasok global. Relokasi pabrik dari Cina atau Amerika bisa diarahkan ke kawasan industri di Batang, Kendal, hingga Morowali. Indonesia bisa menjadi “netral tetapi strategis.”

Namun peluang hanya akan jadi peluang jika tidak dikelola dengan cerdas. Reformasi birokrasi, penyederhanaan izin, hingga insentif fiskal harus dilakukan secepatnya. Dunia sedang mencari tempat yang aman dan stabil untuk berinvestasi—Indonesia harus jadi jawaban dari pencarian itu.

Dunia Butuh Pemimpin Damai, Bukan Pemenang Perang

Perang dagang ini bukan sekadar urusan tarif dan neraca perdagangan. Ini adalah pertarungan ideologi, ego, dan pengaruh. Dunia tidak butuh pemenang dalam perang ekonomi, dunia butuh pemimpin yang bisa menghadirkan damai dan keseimbangan.

Amerika dan Cina mungkin kuat, tetapi kekuatan tanpa arah hanya akan melahirkan kehancuran. Indonesia, dengan segala keragamannya, justru bisa menjadi mercusuar kebijaksanaan baru. Dunia sedang mencari suara akal sehat. Dan mungkin, di sinilah suara itu lahir: dari negeri yang pernah menjadi pusat rempah-rempah dunia, kini bersiap menjadi pusat diplomasi ekonomi global.

Dr Abid Muhtarom, SE., SPd., MSE.
Dekan FEB UNISLA, Wakil Ketua PH GP Ansor Kabupaten Lamongan, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Kabupaten Lamongan

Komentar Dinonaktifkan pada Perang Dagang Global: Gelombang Besar yang Siap Menggulung Ekonomi Dunia