HOME

Tarif Trump Diberlakukan, Rupiah Tertekan: Indonesia dalam Pusaran Perang Dagang Baru

Tanggal 5 April 2025 menjadi titik genting dalam sejarah perdagangan global, ketika Amerika Serikat resmi memberlakukan tarif impor sebesar 32% terhadap berbagai produk unggulan dari Indonesia. Kebijakan ini bukan hanya sekadar lembaran baru dalam ketegangan dagang internasional, melainkan juga menjadi peringatan keras bagi negara-negara berkembang: dunia tak lagi steril dari proteksionisme ekstrem. Indonesia, yang selama ini menempatkan ekspor sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi, tiba-tiba harus berhadapan dengan realitas pahit. Tarif tinggi ini menempatkan banyak sektor industri dalam kondisi “hidup segan mati tak mau”. Rupiah pun digiring ke ujung tanduk, berada dalam tekanan hebat akibat ketidakpastian global yang kian menggila. Tarif Balasan dan Tuduhan Manipulasi Tarif ini muncul setelah AS menuding Indonesia melakukan manipulasi mata uang melalui depresiasi rupiah yang dinilai disengaja. Dengan kurs yang lemah, produk Indonesia dianggap lebih murah dan kompetitif secara tidak adil di pasar global. Klaim sepihak ini langsung direspon dengan kebijakan resiprokal dari AS, tanpa ruang diskusi, tanpa forum internasional, tanpa timbang rasa. Menurut Dr. Abid Muhtarom, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Lamongan, alasan AS sangat subjektif dan bermuatan politis. “Tidak ada bukti kuat bahwa depresiasi rupiah merupakan hasil rekayasa. Pasar mata uang kita sangat dipengaruhi dinamika eksternal seperti kebijakan The Fed, harga komoditas global, hingga instabilitas geopolitik,” jelasnya. Dr. Abid menilai tuduhan manipulasi itu hanyalah dalih untuk menutup pasar bagi produk asing, terutama dari negara berkembang yang dinilai mulai menyaingi dominasi industri AS. Produk-produk seperti elektronik, tekstil, karet, serta minyak kelapa sawit (CPO) menjadi sasaran utama. Ironisnya, semua sektor tersebut merupakan industri padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah masif. Gelombang PHK Mengintai Tarif tinggi sama artinya dengan penguncian pasar. Ketika ekspor terhambat, pabrik mengurangi produksi. Ketika produksi menurun, maka efisiensi dilakukan. Efisiensi yang paling cepat? Pemutusan hubungan kerja. Industri tekstil dan garmen yang selama ini bertumpu pada ekspor ke Amerika berisiko besar mengalami gelombang PHK massal. Begitu pula dengan produsen elektronik berbasis perakitan, serta industri pengolahan CPO yang sudah lama menjadikan pasar AS sebagai tujuan utama. Ini bukan sekadar tantangan ekonomi, melainkan ancaman sosial. Saat ini, pemerintah memang masih berupaya menjaga stabilitas dengan berbagai insentif. Namun jika tekanan tarif berlanjut dan tidak segera dicarikan solusi diplomatis, dampaknya akan menjalar hingga ke rumah tangga—menurunkan daya beli, memperlebar angka kemiskinan, bahkan memperparah ketimpangan sosial. Non-Tarif: Hantu Perdagangan Global Yang paling mengkhawatirkan dari perang dagang ini bukan hanya tarif resmi, tapi hambatan non-tarif yang kerap bersifat tak kasat mata. Standar teknis yang rumit, aturan sertifikasi yang berubah-ubah, hingga kebijakan lingkungan yang sangat subjektif, semuanya bisa menjadi alat untuk membatasi akses produk Indonesia ke pasar Amerika. Inilah wajah baru perang dagang: senyap tapi mematikan. Negara seperti Indonesia berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan karena perhitungan dampaknya sulit diukur secara kasat mata. Ketika hambatan non-tarif diberlakukan, satu per satu perusahaan ekspor akan tercekik tanpa sempat menyadari dari mana serangan datang.

Komentar Dinonaktifkan pada Tarif Trump Diberlakukan, Rupiah Tertekan: Indonesia dalam Pusaran Perang Dagang Baru