“Banjir Produk Asing, UMKM Indonesia: Siap atau Tersingkir?”
Oleh: Dr. H. Abid Muhtarom, S.E., M.S.E (Dekan FEB UNISLA dan wakil ketua dewan pengupahan kabupaten Lamongan)
Lamongan, KabarOne News.com-Buka aplikasi belanja online atau kunjungi pusat perbelanjaan, dan Anda akan melihat fakta yang sama: mayoritas produk yang tersedia bukan buatan anak bangsa. Barang-barang dari Tiongkok, Amerika, Rusia, Vietnam, bahkan negara Eropa kini membanjiri pasar Indonesia. Dahulu, impor produk harus melewati jalur distribusi yang panjang, sehingga ada waktu dan ruang bagi pelaku usaha lokal untuk bersaing. Kini, berkat e-commerce dan kemudahan impor, produsen asing bisa menjual langsung ke konsumen Indonesia tanpa harus memiliki gudang atau pabrik di sini. Barang sampai dengan cepat, harga murah, dan promosi agresif. Fenomena ini memang memanjakan konsumen, tetapi mengancam keberlangsungan UMKM, tulang punggung ekonomi nasional.
UMKM selama ini menjadi garda terakhir ekonomi rakyat. Mereka menyerap jutaan tenaga kerja, menjaga konsumsi domestik, dan menjadi benteng saat industri besar goyah. Namun dalam era digital yang dikuasai asing, UMKM harus menghadapi tantangan baru: persaingan tidak seimbang dengan perusahaan global yang memiliki modal, jaringan distribusi, dan teknologi lebih unggul. E-commerce, yang seharusnya menjadi jembatan untuk memasarkan produk lokal, justru menjadi arena persaingan yang timpang. Algoritma platform digital besar menonjolkan produk asing, harga produk impor lebih rendah karena skala produksi masif, dan promosi mereka lebih agresif. Sementara UMKM lokal harus berjuang dengan modal terbatas, kapasitas produksi kecil, dan akses pasar yang sempit.
Pertanyaannya sederhana: apakah UMKM siap menghadapi arus global ini, atau mereka akan tersingkir perlahan? Fakta menunjukkan bahwa banyak usaha kecil yang gulung tikar ketika tidak mampu bersaing dengan harga murah produk impor. Tidak sedikit pengrajin lokal, penjahit rumahan, pembuat makanan tradisional, atau produsen mainan anak yang terpaksa menutup usaha karena kehilangan konsumen. Tanpa intervensi nyata, ekonomi rakyat akan semakin bergantung pada produk asing, sementara kemampuan produksi lokal semakin lemah.
Pemerintah memiliki peran strategis untuk melindungi UMKM. Proteksi bagi pelaku usaha kecil bukan sekadar proteksionisme, tetapi bentuk keadilan ekonomi. Barang-barang yang sudah mampu diproduksi di dalam negeri harus mendapat ruang untuk berkembang. Negara maju pun melakukan hal yang sama. Amerika Serikat, Jepang, dan negara Eropa melindungi industri lokalnya melalui subsidi, regulasi, dan pembatasan impor yang selektif. Indonesia harus belajar dari pengalaman ini agar kedaulatan ekonomi rakyat tetap terjaga. Tanpa langkah tegas, UMKM akan terus tergerus, dan Indonesia hanya menjadi pasar konsumsi bagi produk asing.
Namun perlindungan saja tidak cukup. UMKM juga harus bertransformasi. Mereka tidak bisa hanya bertahan di era digital. Pelaku usaha kecil harus memanfaatkan teknologi untuk memperluas pasar, meningkatkan efisiensi produksi, dan memperkuat branding. Digitalisasi, manajemen keuangan yang baik, serta strategi pemasaran online adalah kunci agar UMKM bisa naik kelas. Perguruan tinggi, seperti Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNISLA, memiliki peran penting dalam mendampingi UMKM. Mahasiswa dan dosen bisa menjadi mentor, memberikan pelatihan digital marketing, desain produk, hingga manajemen bisnis modern. Dengan pendampingan yang tepat, UMKM bukan hanya mampu bertahan, tetapi juga bersaing di pasar nasional maupun internasional.
Akses modal menjadi isu krusial. Banyak UMKM memiliki produk berkualitas, tetapi terhenti karena keterbatasan dana. Sistem perbankan tradisional seringkali menuntut agunan dan persyaratan sulit, sehingga pelaku usaha kecil kesulitan mendapatkan pinjaman. Pemerintah perlu membuka akses pembiayaan yang lebih ramah, melalui kredit usaha rakyat berbunga rendah, subsidi bahan baku, dan insentif fiskal. Dengan begitu, UMKM dapat meningkatkan kapasitas produksi tanpa terbebani biaya tinggi dan mampu bersaing dengan produk impor yang murah.
Ekosistem digital nasional juga harus diperkuat. Marketplace besar perlu memberi ruang adil bagi penjual lokal. Tidak cukup hanya menonjolkan produk asing dengan harga rendah. Indonesia perlu membangun platform perdagangan digital nasional milik anak bangsa. Platform ini tidak hanya menjadi etalase jualan, tetapi juga tempat pembinaan, promosi, dan transaksi bagi UMKM. Dengan demikian, keuntungan dari setiap transaksi tetap berputar di dalam negeri, bukan lari ke luar.
Namun semua upaya pemerintah akan sia-sia jika UMKM sendiri tidak proaktif. Pelaku usaha harus memahami perilaku konsumen digital, memanfaatkan media sosial, dan berinovasi dalam produk dan layanan. Generasi muda memiliki peran penting untuk mendampingi UMKM, mengajari cara berjualan online, memasarkan produk, dan membangun identitas merek yang kuat. Transformasi mental dan kemampuan digital menjadi kunci agar UMKM bisa bersaing di era global.
Kesadaran konsumen juga menjadi faktor penentu. Membeli produk lokal bukan sekadar soal harga, tetapi bentuk dukungan nyata terhadap ekonomi bangsa. Setiap rupiah yang dibelanjakan untuk produk Indonesia berarti menjaga lapangan kerja, meningkatkan daya saing nasional, dan menegakkan kedaulatan ekonomi. Kampanye “cintai produk lokal” harus digerakkan secara modern, menunjukkan bahwa produk buatan anak bangsa mampu bersaing dalam kualitas, desain, dan inovasi.
Kebijakan makroekonomi juga harus seimbang. Menteri Keuangan dan otoritas moneter jangan hanya fokus pada stabilitas kurs dan suku bunga, atau mendorong konsumsi masyarakat. Kebijakan harus berpihak pada produktivitas. Pertumbuhan ekonomi sejati lahir dari kemampuan menghasilkan, bukan sekadar mengonsumsi. Insentif fiskal dan moneter perlu diarahkan untuk mendorong UMKM semakin produktif, meningkatkan kapasitas, dan memperluas pasar.
UMKM juga harus menjadi inovator, bukan sekadar produsen pasif. Mereka perlu mengembangkan produk bernilai tambah, memperbaiki desain, meningkatkan kualitas, dan menyesuaikan harga agar mampu bersaing. Kolaborasi dengan akademisi, pemerintah, dan komunitas bisnis akan menciptakan ekosistem yang sehat. Pelaku usaha kecil tidak lagi menjadi penonton, tetapi pemain utama dalam pasar nasional dan global.
Jika semua pihak bergerak bersama pemerintah, akademisi, pelaku UMKM, dan masyarakat Indonesia tidak hanya menjadi pasar konsumen, tetapi juga produsen yang mandiri dan dihormati. UMKM adalah benteng terakhir yang menjaga denyut ekonomi nasional tetap hidup dan berdaulat. Tanpa mereka, gelombang produk asing akan terus menggerus ekonomi rakyat, menurunkan kedaulatan, dan melemahkan ketahanan nasional.
Sekarang bukan waktu untuk menunggu. UMKM harus diperkuat, diberdayakan, dan diarahkan. Pemerintah harus tegas, kebijakan harus berpihak, dan masyarakat harus cerdas. Jika langkah ini berhasil, Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga bangkit menjadi bangsa produsen yang kuat, mandiri, dan berdaulat di tengah globalisasi yang semakin deras.


