HOME

Menambang Emas Tanpa Cangkul: Harta Karun Bernama Pasar Modal Indonesia

Oleh: Dr. Agung Hirmantono, SE., M.Ak. (Dosen Akuntansi FEB UNISLA)

Kalau dulu orang berburu harta karun harus menyelam ke dasar laut, membawa peta tua dan kompas berkarat, kini harta karun itu sudah pindah tempat bukan di bawah ombak biru, tapi di layar ponsel Anda. Namanya Pasar Modal Indonesia. Di sanalah uang mengalir setiap hari hingga triliunan rupiah, berpindah tangan antara investor, emiten, dan perusahaan-perusahaan besar yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Bayangkan, lebih dari 900 perusahaan terbuka (Tbk) yang bergerak di berbagai sektor—dari energi, pangan, hingga teknologi saling berlomba mencari modal dan kepercayaan publik. Sementara itu, jutaan investor dari seluruh pelosok negeri menambang peluang keuntungan. Maka, kalau Anda masih hanya menyimpan uang di celengan ayam atau deposito yang bunganya tak seberapa, percayalah: Anda sedang menonton pesta ekonomi besar dari luar pagar.

Indonesia kini sedang menikmati masa emas perkembangan pasar modal. Hingga Oktober 2025, jumlah investor pasar modal telah menembus 19 juta orang angka fantastis yang beberapa tahun lalu mungkin terasa mustahil. Lonjakan ini bukan tanpa alasan. Bonus demografi, kemajuan teknologi finansial, dan meningkatnya literasi keuangan membuat masyarakat, khususnya anak muda, lebih berani dan melek investasi. Generasi yang dulu hanya mengenal “menabung pangkal kaya” kini telah berevolusi menjadi “berinvestasi pangkal cuan.”

Kinerja pasar pun tidak main-main. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa sebanyak delapan kali hanya dalam bulan Oktober 2025! Total nilai penawaran umum (termasuk IPO) mencapai Rp142,62 triliun hingga pertengahan tahun. Nilai transaksi harian juga tetap tinggi, menandakan likuiditas pasar yang sehat dan gairah investor yang tak surut meski dunia dilanda ketidakpastian ekonomi dan geopolitik.

Namun, seperti pepatah “di mana ada gula di situ ada semut”, pasar modal bukan tanpa risiko. Fluktuasi harga, spekulasi berlebihan, dan faktor global bisa membuat harga saham naik-turun secepat status media sosial. Tapi bukankah setiap peluang besar selalu datang bersama risiko besar pula? Justru di situlah letak seninya: memahami bahwa berinvestasi bukan sekadar mengejar profit cepat, tapi juga belajar membaca arah ekonomi, mengendalikan emosi, dan membangun mental finansial yang matang.

Yang menarik, wajah pasar modal kini berubah drastis. Kalau dulu investor identik dengan jas rapi, dasi, dan grafik di monitor besar, kini investor bisa seorang mahasiswa, karyawan muda, atau bahkan ibu rumah tangga yang aktif di media sosial. Menurut data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per April 2025, dari lebih dari 16 juta investor individu, sekitar 54% adalah anak muda berusia 30 tahun ke bawah—generasi Z dan Alfa. Meski nilai aset mereka “baru” sekitar Rp40 triliun, secara jumlah mereka sudah menyaingi total investor senior usia di atas 31 tahun.

Generasi muda ini datang dengan gaya baru: mereka tidak hanya rasional, tapi juga emosional dan sosial. Mereka membeli saham bukan hanya karena laporan keuangan bagus, tapi juga karena faktor tren, komunitas, bahkan isu lingkungan. Fenomena FOMO (fear of missing out) dan YOLO (you only live once) menjadi warna tersendiri dalam perilaku investasi mereka. Ada yang ingin cepat kaya, ada yang sekadar ikut tren teman, tapi ada juga yang benar-benar belajar memahami strategi jangka panjang.

Tantangan kita, terutama sebagai akademisi dan pendidik di dunia keuangan, adalah bagaimana mengarahkan energi besar ini menjadi kekuatan ekonomi yang sehat dan produktif. Karena pasar modal bukan tempat berjudi, melainkan tempat menanam nilai jangka panjang. Butuh edukasi, kesabaran, dan mindset yang benar. Pemerintah sendiri sudah aktif memperluas literasi keuangan melalui program inklusi keuangan, kampanye “Yuk Nabung Saham”, hingga kerja sama dengan kampus-kampus. FEB UNISLA termasuk yang siap menjadi bagian dari upaya ini, mendorong mahasiswa agar tak hanya paham teori akuntansi, tetapi juga melek investasi dan paham bagaimana uang bekerja di dunia nyata.

Banyak yang belum sadar bahwa pasar modal adalah urat nadi perekonomian modern. Di sanalah perusahaan mencari modal untuk ekspansi, menciptakan lapangan kerja, dan menumbuhkan produk domestik bruto (PDB). Saat kita membeli saham, sejatinya kita sedang ikut membiayai pertumbuhan ekonomi bangsa. Jadi, menjadi investor bukan hanya soal mencari keuntungan pribadi, tapi juga bentuk partisipasi ekonomi yang patriotik.

Selain itu, potensi pengembangan pasar modal juga masih luas, terutama di luar Pulau Jawa. Data menunjukkan, aset dan jumlah investor di daerah-daerah mulai menunjukkan tren peningkatan. Artinya, kesadaran berinvestasi mulai merata dan tak lagi monopoli kota besar. Jika tren ini terus didorong, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi kekuatan investasi domestik terbesar di Asia Tenggara.

Namun, tentu saja pasar modal juga menghadapi tekanan dari faktor eksternal. Ketidakpastian ekonomi global, perang dagang, perubahan iklim, hingga gejolak geopolitik bisa mengguncang indeks dalam sekejap. Tapi di sisi lain, setiap krisis selalu membawa peluang baru. Investor cerdas tahu kapan harus menahan, kapan harus menyerang. Dan di era digital seperti sekarang, informasi dan analisis tersedia di ujung jari tinggal bagaimana kita menggunakannya dengan bijak.

Maka, pesan sederhana saya: jangan takut memulai. Mulailah dari yang kecil, dengan ilmu yang cukup. Tidak perlu menunggu kaya untuk berinvestasi; justru investasi adalah cara menuju kekayaan. Yang penting, jangan asal ikut tren tanpa paham risiko. Karena pasar modal tidak mengenal kata “beruntung selamanya” ia mengenal kata “disiplin” dan “strategi”.

Pasar modal Indonesia ibarat tambang emas terbuka siapa pun bisa menambang asal tahu cara menggali. Dan menariknya, tidak perlu keringat bercucuran atau cangkul di tangan. Cukup pengetahuan, keberanian, dan smartphone di genggaman.

Jadi, jangan hanya menjadi penonton di pinggir lapangan. Saat triliunan rupiah berputar setiap hari di pasar modal, bukankah rugi kalau kita hanya menatap layar tanpa ikut ambil bagian?

Mari menambang emas di dunia finansial modern ini, bukan dengan sekop dan tambang, tapi dengan literasi dan strategi. Karena di era digital ini, mereka yang paham uang tidak bekerja untuk uang melainkan membuat uang bekerja untuk mereka.

Itulah harta karun sejati Indonesia hari ini: Pasar Modal.
Dan siapa pun yang mau belajar menggali, akan menemukan emasnya sendiri.

Komentar Dinonaktifkan pada Menambang Emas Tanpa Cangkul: Harta Karun Bernama Pasar Modal Indonesia